Senin, 11 Mei 2020

A Little Story: The Next Story about Internship in Indonesian Institute of Science (LIPI)

Salam sejahtera… Salam Milenial…

          Pertama-tama saya mengucapkan banyak terima kasih karena sudah membuka blog saya. Semoga tulisan saya dapat bermanfaat bagi para pembaca. Semoga teman-teman juga bisa berbagi kisah dengan kita semua. Baiklah, update kali ini membahas tentang cerita lanjutan dari magang kemarin. Yang belum baca, silahkan baca di link ini. Saya mulai bercerita saat keberangkatan menuju Jakarta. Yah… saat di mana saya ketinggalan pesawat.

          Hari itu tanggal 29 September 2019, tepatnya pukul 20.00 WITA, saya meninggalkan kampung dan menuju ke Makassar. Saya sampai di Makassar pukul 1.00 WITA. Benar-benar mengejutkan, karena ternyata saya belum sempat melengkapi dan mempelajari presentasi seminar proposal saya. Saya segera melengkapinya dan belajar seadanya untuk seminar besok lalu terbangun lebih awal karena saya juga belum packing. Saya menyiapkan semuanya dan packing seadanya. Saya bahkan tidak tahu harus membawa apa, siapa tau koper saya kelebihan bagasi dan bayar lagi.

          Setelah seminar proposal, masih tersisa sekitar 2 jam lebih untuk ke bandara. Saya menyempatkan foto-foto dengan teman saya yang ternyata memakan waktu hingga 1 jam. Mulai dari sinilah kepanikan saya dimulai. Seorang sahabat saya, Tuty masih menyempatkan untuk mengantar saya menuju ke bandara. Saya tidak sempat membersihkan diri, saya tetap memakai baju hitam putih itu, belum pernah makan, tidak ada yang berubah kecuali wajah saya yang bertambah kusam dan berminyak. Saya tidak memikirkan itu lagi, karena sudah jam 16.00. Waktu ke bandara membutuhkan setidaknya 30 menit.

Tiba-tiba, Mita menelpon saya katanya akses menuju bandara macet karena demo. Saya bertambah panik. Tuty berusaha menenangkan dan menghibur saya dalam perjalanan. Supir taksi online yang membawa kami juga berusaha lewat jalur kompas menurutnya. Saya sudah bilang lewat tol, tapi saya diabaikan. Dan ternyata, jalur kompas itu malah lebih macet dan jalurnya tambah jauh dan waktu tempuhnya malah jadi 1 jam lebih. Setelah itu, saya memasuki jalur bandara jam 17.00, sementara Mita sudah check in di bandara. Dia menelpon saya untuk datang segera karena check ini akan ditutup dan tidak bisa diwakili. Setelah 10 menit kemudian, saya tiba di bandara keberangkatan. Saya langsung lari ke tempat check in. Mita menunggu di sana, tapi ternyata check in sudah ditutup. Hanya beda 10 menit yang lalu. Katanya pesawat akan segera berangkat. Iya… tiket pesawat saya hangus. Saya sudah melapor ke customer service tapi refund tiket hanya 10%.

Saya merasa lebih kasihan lagi saat orang tua menelpon. Mereka malah heran kenapa masih mengangkat telepon padahal seharusnya saya ada di pesawat. Tentu saja, saya tidak bisa bohong. Mereka malah meminta saya pulang dan melarang saya pergi. Tapi tekad itu tidak hilang dari dalam diri saya bahwa saya ingin magang di LIPI. Saya membeli tiket kembali. Penerbangan saya jam 20.00 WITA. Saya tidak mau ketinggalan lagi. Saya ingin jadi orang pertama yang check in. Dan lagi-lagi, saya kelebihan bagasi dan menambah uang bagasi. Uang saya terkuras banyak padahal saya belum sampai di tempat tujuan. Saya tidak bisa berpikir lagi karena rasanya kacau, saya langsung membayar dan naik pesawat.

Alasan yang bisa diterima keluarga saya untuk magang adalah karena salah seoarng teman sekaligus sepupu saya kuliah di Jakarta. Dia adalah Rama yang dipercaya orang tua saya untuk mengantar saya ke lokasi magang dan mencarikan tempat tinggal. Yah… saya sangat berhutang budi pada Rama. Dia menjemput saya di bandara jam 22.00 WIB dan segera mencarikan saya tempat sementara. Hingga jam 1.00 WIB, dia baru menemukan tempat sementara untuk saya tinggali yaitu di kos Andi Sri, seorang teman SMA. Dia menerima dan mengijinkan saya untuk tidur di kamarnya semalam. Lelah yang saya pungut hari ini langsung saya rebahkan di atas lantai kos itu, belum mandi ataupun makan apapun seharian. Rasanya seperti mimpi. Dalam dua hari saya berpindah tempat Sidrap-Makassar-Jakarta. Setelah tidur pulas, saya bangun subuh dan membersihkan diri. Perut saya baru terisi saat Rama membawa sarapan pagi itu. Selanjutnya, kami berangkat ke LIPI menggunakan motor dengan modal google maps.

Rusunawa LIPI Cibinong
RUSUNAWA LIPI CIBINONG

Pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Ibu kota, benar-benar super macet padahal kami berangkat lebih awal. Gedung tinggi berjejer saya lewati. Saat saya melihat gedung tinggi dan besar bertuliskan LIPI di tengah kota Jakarta, saya merasa senang karena sudah sampai. Tapi, saya melihat google maps, masih ada 2 jam lebih perjalanan ke lokasi Rusunawa LIPI, tempat tinggal saya nantinya. Saya heran, kenapa bisa tempat tinggal sangat jauh dari lab. Yah… pemikiran dangkal saya kemarin akhirnya terjawab. Gedung itu adalah kantor pusat LIPI, sementara Puslit Bioteknologi yang akan saya datangi bertempat di Cibinong, Bogor.

Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya saya sampai di Rusunawa. Saya diminta menemui penanggung jawab rusunawa untuk menyewa kamar. Lagi-lagi missed informasi. Sebelum menyewa tempat tinggal di Rusunawa, mahasiswa harus menghubunginya sebulan sebelum tinggal. Karena belum tentu ada kamar yang kosong. Jadi rusunawa LIPI Cibinong terdiri atas 3 gedung berbeda. Gedung 1 memiliki kamar cukup luas karena diperuntukkan bagi peneliti yang sudah berkeluarga, sedangkan gedung 2 dan 3 memiliki luas yang sama. Namun gedung 2 khusus wanita, sementara gedung 3 campur. Saat itu, yang kosong hanyalah gedung 3. Itupun beruntung karena masih dapat kamar karena saya belum pernah konfirmasi. Harga kamar gedung 3 sekitar Rp. 400.000/kamar dengan fasilitas dua kasur, kamar mandi dalam, lemari dan kamarnya cukup luas. Sejak saat itu, saya tinggal sementara di rusunawa LIPI.

Setelah beristirahat sejenak, Rama menemani saya untuk berbelanja keperluan sehari-hari. Maklumlah, isi koper saya hanya pakaian dan peralatan mandi. Saya menggunakan GPS untuk mencari Pasar terdekat dan saya temukan Pasar Citereup. Saya membeli rice cooker, setrika dan bahan pokok. Setidaknya itulah bahan-bahan yang saya butuhkan untuk bertahan hidup di sini. Sebenarnya, saya mencoba mengulur waktu agar Rama tidak pergi secepatnya, karena penyakit ketakutan saya mulai kambuh. Bagaimana tidak? Rusunawa yang saya tempati dikelilingi oleh semak-semak tinggi, tanah kosong dan sedikit jauh dari pemukiman warga. Suasana rusun juga terasa sunyi meskipun sebenarnya seluruh isi kamar sudah terisi penuh. Rasa takut itu mulai membebani saya lebih dan lebih setelah orang tua dan kakak saya menelpon. Entahlah, kenapa mereka harus menceritakan kejadian horror tentang rusun itu setelah membaca kisah-kisah blogger seperti ini. Kalau masalah penjagaan, rusunawa memiliki banyak petugas keamanaan yang siap siaga berjaga 24 jam di depan gerbang. Hanya saja, saya tidak bisa melerai rasa takut saya. Karena saya sudah tidak tahan, keesokan harinya saya menghubungi Rama untuk mencarikan saya kos di tengah pemukiman warga.

Saya hanya bermodalkan google dan searching tentang apa yang saya butuhkan. Saya searching lokasi kos dekat LIPI dan dipertemukan dengan sebuah pemukiman atau Desa bernama Sampora. Lokasinya sangat dekat dengan LIPI. Saya memasuki Desa itu dan bertanya. Masyarakatnya sangat ramah, mereka langsung bertanya maksud kedatangan kami. Ternyata Desa ini sudah menjadi tempat tinggal para mahasiswa magang dan sudah menyediakan banyak kos. Bagi mahasiswa magang yang berjumlah banyak biasanya bergabung dalam rumah warga namun ada juga kos mandiri. Salah satu dari masyarakat menunjukkan kos cewek yang tergolong eksklusif di Desa itu, dikenal dengan Kos Hj. Bimo.

Yah… tidak salah lagi, kosan itu terlihat megah dengan pintu besi tinggi dan jejeran kamar di dua lantai. Saya langsung dipertemukan dengan Mbak Anis, penanggung jawab kos tersebut. Untuk pertama kalinya memasuki kos itu, saya merasa sedikit lebih hidup dibandingkan tinggal di rusun. Saya bisa melihat keramaian dan keramahan warga sekitar jadinya saya memutuskan untuk tinggal di sana. Pilihan kamar kos pak Hj. Bimo ada dua yaitu kamar dengan kamar mandi luar seharga Rp.500.000/bulan dan kamar mandi dalam Rp. 700.000/bulan. Fasilitas lain adalah kasur, lemari dan bebas listrik. Bukan itu saja, saya menyewa sepeda seharga Rp. 100.000/bulan untuk saya gunakan ke lab. Hari itu juga, Rama segera membantu memindahkan barang-barang saya dari rusun ke kos, kemudian pamit untuk kembali ke Jakarta. Saya sangat berterima kasih.

Saya mencoba beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Jujur saja, saya masih ketakutan dan kesepian. Waktu itu bukanlah masa-masa magang, sehingga tidak banyak mahasiswa yang saya temui. Saya juga terkejut melihat suasana lab tempat saya bekerja karena ternyata hanya ada saya dalam lab itu. Saya harus bekerja sendiri setelah Bu Marta memberikan arahan. Awalnya saya cukup sulit beradaptasi. Alasan ekstrinsik seperti ketakutan masih mengelabui saya, sementara alasan instrinsik juga cukup menyulitkan karena masih banyak praktek yang belum menjadi keahlian saya sedangkan Bu Marta sangat tegas dan perfeksionis dalam bekerja. Saya sempat mendapat beberapa kali teguran agar bekerja lebih baik. Beliau sangat tekun membimbing dan memotivasi saya. Hanya saja, saya merasa tidak bisa konsentrasi awal pembimbingan karena alasan-alasan tadi. Waktu itu adalah masa tersulit bagi saya, sekitar seminggu setelah saya datang. Saya bahkan berpikir untuk menyerah dan pulang karena tidak bisa beradaptasi. Tapi beberapa teman dekat saya terus memotivasi dan mendengarkan curhatan saya saat menelpon. Jadinya saya sadar bahwa, saya butuh teman.

Saya mencoba lebih berbaur dengan mahasiswa lain di lab. Saya menyapa beberapa orang tapi hanya satu yang benar-bernar menanggapi saya. Dia adalah Nursita, mahasiswa Universitas Brawijaya. Kebetulan dia juga ngekos di Sampora jadinya saya selalu pulang bersama dan sharing kegiatan di lab. Bukan hanya teman di lab, saya juga bertemu dengan Ibu gaul yang memberikan banyak informasi. Yah… Bu Yuni. Beliau adalah pemilik warung pojok pertigaan Sampora. Setiap kali makan, Bu Yuni selalu menemani saya dan bercerita hingga akhirnya kami lebih akrab. Saya sangat bersyukur karena bertemu Bu Yuni. Beliau sangat memahami perasaan saya waktu itu sehingga menambah motivasi saya untuk terus belajar. Semakin hari percakapannya lebih menarik dan membuat saya lebih nyaman dan bisa bernafas lega.

Rice cooker yang sempat saya beli selama magang

Sejak saat itu, saya mulai beradaptasi dan mencoba hidup normal. Saya bangun pagi jam 6 dan memasak nasi untuk bekal makan siang, sedangkan sarapan saya biasanya risol Bu Yuni atau nasi uduk sambal kacang super legend depan kos. Saya menunggu makan siang tiba dan makan di satu-satunya kantin lab biotek. Karena saya sudah punya nasi, jadi saya menghemat Rp. 5000. Biasanya saya memilih lauk ikan tuna/ayam seharga Rp. 7000, lalu ada sayur Rp. 3000 dan kerupuk Rp. 1000. Satu lagi yang tidak pernah absen yaitu es batu Rp. 1000,,saya sering membawa botol minum dan menambah es batu agar terasa segar saat lunch. Yah… aneh juga di Cibinong. Setiap pagi hingga siang hari sangat panas. Tapi saat memasuki jam 4 sore, langit mulai mendung dan Guntur menggelegar sangat keras lalu jam 5 akan turun hujan. Saya sempat mengabaikan Bu Marta saat meminta untuk membeli payung karena selalu hujan. Ternyata sampai dua bulan lebih saya tidak pernah membelinya dan sering kehujanan hahahh…

Setiap hari sabtu dan minggu, saya mencoba menghibur diri dengan jalan-jalan yang bermanfaat dan. Saya searching seminar-seminar murah yang bisa membuat saya lebih semangat. Hampir tiap minggu saya berkelana ke kampus kampus di sana untuk menghadiri seminar sekaligus jalan-jalan. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat saya syukuri. Saya mengikuti seminar yang diadakan oleh Sekolah Vokasi IPB di Balai Kota Bogor. Weekend selanjutnya saya menjelajahi kampus IPB Dermaga sekaligus mengikuti seminar kehutanan. Lalu, ada juga seminar pendidikan di Universitas Negeri Jakarta dan seminar Pertanian di Universitas Atma Jaya. Saya juga sempat mengevaluasi kemampuan TOEFL saya melalui Tes TOEFL Scholars Karya Salemba Empat di Universitas Indonesia. Kemudian mengunjungi pameran-pameran kampus Eropa, Korea dan lainnya di Balai Kartini.

Kehidupan saya bertambah baik setelah kedatangan seorang mahasiswa peneliti dari Universitas Brawijaya ngekos di tempat yang sama. Yah…dia adalah Irma. Saya merasa lebih malu saat mengetahui kalau dia datang sendiri dan merasa baik-baik saja, hanya perlu sedikit beradaptasi. Mengingat sebulan yang lalu saya merasa sangat kacau dan mencoba bercerita, Irma sangat memotivasi saya. Di tengah kesibukan penelitian, kami menyempatkan jalan bersama. Kami mengunjungi Kebun Raya Bogor dan jalan-jalan ke Monas. Cerita tak terlupakan saat bersama Irma adalah saat perjalanan pulang dari Jakarta. Saat itu kami sudah seharian jalan, seluruh tubuh saya terasa lemas tapi kesal. Sekitar pukul 5 sore, stasiun sangat ramai dan KRL yang kami tumpangi sangat sesak karena full penumpang. Saya hanya memasang raut wajah kesal dan marah. Saya bahkan tidak bisa bicara dan mendiami Irma sampai saya akhirnya memutuskan untuk singgah di stasiun membeli pop mie untuk makan. Irma tertawa dan mengatakan kalau saya sangat menyebalkan saat lapar, hahahh… saya juga baru menyadari bahwa saya bisa tertawa lepas setelah perut saya terisi hahahhha….

Pameran Beasiswa Korea

Setelah hampir dua bulan magang, saya merasa waktu magang saya juga hampir selesai. Tapi ternyata, pembimbing saya memutuskan untuk menambah waktu 17 hari demi terselesaikannya proyek tersebut. Saya tidak punya pilihan lain dan harus bertanggung jawab. Oleh karena itu, saya menghabiskan magang di LIPI selama 2,5 bulan.

Tapi karena pengalaman inilah saya mempelajari banyak hal. Tidak hanya wawasan sains, tapi pertemanan dan kemampuan bertahan hidup sangat tersirat selama menjalani proses pembimbingan di LIPI. Ini adalah pengalaman berharga dalam hidup saya. Bagi teman-teman yang ingin 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar