Model VSEPR yang sebagian besar didasarkan pada
struktur Lewis, memang dapat menjelaskan dengan baik mengenai geometri molekul,
namun teori lewis tidak secara jelas dapat menjelaskan mengenai mengapa terjadi
ikatan kimia, misalnya ketika menggambarkan ikatan tunggal antar atom H
dalam H2 dan antar atom F dalam F2. Teori Lewis menggambarkan ikatan-ikatan ini dengan cara yang
sama sebagai perpasangan dua elektron. Tetapi kedua molekul ini memiliki
energi ikatan dan panjang ikatan yang berbeda. Hal ini dan berbagai fakta
lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori ikatan valensi yang
menggunakan kajian mekanika kuantum.
Teori ikatan valensi mengasumsikan bahwa sebuah ikatan
kimia terbentuk ketika dua valensi elektron bekerja dan menjaga dua inti atom
bersama oleh karena efek penurunan energi sistem, teori ini berlaku dengan baik
pada molekul diatomik. Pada teori ikatan valensi ini,
elektron-elektron dalam molekul menempati orbital-orbital atom dari
masing-masing atom.
Dalam teori Lewis, pembentukan molekul H2 dari
atom H digambarkan ikatan H-H dengan perpasangan dua elektron pada atom-atom H.
Dalam kerangka teori ikatan valensi, ikatan kovalen H-H dibentuk melalui daerah dalam ruang yang digunakan bersama oleh kedua
orbital 1s dalam atom-atom H, yang dalam konsep ini disebut tumpang tindih
elektron.
Konsep elektron valensi dapat diterapkan tidak hanya
dalam molekul H2, tetapi juga dalam molekul diatomik lain, misalnya
HF. Dalam setiap kasus, teori ikatan valensi menjelaskan perubahan energi
potensial ketika jarak antar atom yang bereaksi berubah. Karena orbital-orbital
yang terlibat tidak selalu sama dalam setiap kasus, maka dapat dijelaskan
mengapa energi ikatan dan panjang ikatan dalam beberapa molekul diatomik dapat
berbeda, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori Lewis.
1. Teori Ikatan Valensi
Teori
ikatan valensi merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada masa
awal penelitian ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F.
London pada tahun 1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya,
teori ini kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931
sehingga dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of
the Chemical Bond”. Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan
valensi oleh Heitler dan London sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang
lebih sempurna dengan beberapa postulat dasarnya, sebagai berikut:
1.
Ikatan valensi terjadi karena adanya gaya tarik pada
elektron-elektron yang tidak berpasangan pada atom-atom.
2.
Elektron - elektron yang berpasangan memiliki arah
spin yang berlawanan.
3.
Elektron-elektron yang telah berpasangan tidak dapat
membentuk ikatan lagi dengan elektron-elektron yang lain.
4.
Kombinasi elektron dalam ikatan hanya dapat diwakili
oleh satu persamaan gelombang untuk setiap atomnya.
5.
Elektron-elektron yang berada pada tingkat energi
paling rendah akan membuat pasangan ikatan-ikatan yang paling kuat.
6.
Pada dua orbital dari sebuah atom, orbital dengan
kemampuan bertumpang tindih paling banyaklah yang akan membentuk ikatan paling
kuat dan cenderung berada pada orbital yang terkonsentrasi itu.
Keenam
postulat dasar di atas disimpulkan dari sejumlah penelitian terhadap
pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen berdasarkan persamaan fungsi
gelombang elektron pada masing-masing orbital yang berikatan.
Dalam
teori ikatan valensi, yang menjadi titik tekannya yaitu fungsi gelombang
elektron-elektron yang berpasangan dibentuk dari tumpang tindih fungsi
gelombang pada masing-masing orbital dari atom-atom yang berkontribusi dan saling
terpisah. Jika terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan
maka kemungkinan fungsi gelombang pada tiap sistem adalah sebagai berikut:
Ψ=χA(1)χB(2)
Ψ=χA(2)χB(1)
Dimana
χA dan χB
adalah orbital-orbital 1s pada atom A dan B. Sementara angka 1 dan 2
merepresentasikan elektron yang berikatan dengan proton pada masing-masing atom
A dan B.
Ketika
kedua atom H berada pada keadaan yang sangat dekat, tidak dapat diketahui
apakah elektron 1 terikat pada atom A dan elektron 2 terikat pada atom B atau
justru sebaliknya, sehingga deskripsi yang paling mungkin adalah membuat dua
fungsi gelombang pada kedua sistem yang mungkin terjadi. Saat kedua
kemungkinan ini disatukan dalam gelombang superposisi maka penjelasan yang
lebih baik adalah kombinasi linear dari keduanya.
Ψ=χA(1)χB(2)+χA(2)χB(1)
Fungsi di atas merupakan fungsi gelombang untuk ikatan H-H. Kedua fungsi
ini berinterferensi konstruktif sehingga terjadi kenaikkan amplitudo di daerah
fungsi gelombang dalam nukleus (inti). Untuk menjelaskan lebih rinci digunakan
prinsip Pauli yang menyatakan bahwa hanya elektron-elektron dengan spin
berpasangan yang dapat dideskripsikan oleh fungsi gelombang di atas. Dari
penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pada teori ikatan valensi, fungsi
gelombang dibentuk oleh pasangan spin dari elektron-elektron pada kedua orbital
atom-atom yang berikatan.
Ikatan yang terjadi dari tumpang tindih ini adalah ikatan
sigma.
2. Struktur Senyawa Kompleks
Berdasarkan teori ini
senyawa koordinasi dibentuk dari reaksi antara asam Lewis (atom atau ion pusat)
dengan basa Lewis (ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi antara keduanya. Di
dalam senyawa koordinasi atau senyawa kompleks atom atau ion pusat memiliki
bilangan koordinasi tertentu. Geometri senyawa koordinasi dengan bilangan
koordinasi 2, 3, 4 dan 6 diberikan pada tabel di bawah berikut.
Bilangan Koordinasi
|
Hibridasasi
|
Struktur kompleks
|
Contoh
|
2
|
Sp,
|
Linear
|
[Ag(CN)2]-
|
3
|
sp2
|
Trigonal planar
|
[HgCl3]-
|
4
|
sp3
|
Tetrahedral
|
[NiCl4]2-
|
4
|
dsp2
|
Bujur sangkar
|
[Ni(CN)4]2-
|
5
|
sp3d
|
Trigonal bipiramidal
|
[CuCl5]3-
|
5
|
dsp3
|
Trigonal bipiramidal
|
[Fe(CO)5]
|
6
|
sp3d2
|
Oktahedral
|
[CoF6]3-
|
6
|
d2sp3
|
Oktahedral
|
[Co(CN)6]3-
|
Berdasarkan
teori ikatan valensi, struktur senyawa koordinasi atau senyawa kompleks
berhubungan erat dengan susunan dalam ruang dari orbital-orbital atom pusat
yang digunakan dalam pembentukan ikatan. Pada
pembentukan ikatan-ikatannya, atom pusat tidak menggunakan orbital s, p dan d,
melainkan menggunakan orbital-orbital yang sama jenisnya dengan tingkat energi
yang sama pula. Orbital-orbital ini disebut orbital-orbital hibrida (hybrid
orbitals) yang diperoleh malalui proses hibridisasi (hybridization).
Hibridisasi adalah proses pembentukan orbital-orbital hibrida dengan tingkat
energi yang sama melalui kombinasi linear dari orbital-orbital atom yang
berbeda dengan dengan tingkat energi yang berbeda pula. Orbital-orbital yang
menglami hibridisasi tersebut adalah milik dari atom pusat.
3. Kelemahan Teori Ikatan Valensi
Sebagaimana yang
telah diketahui bahwa suatu
kompleks dapat bersifat
paramagnetik atau diamagnetik. Suatu kompleks bersifat diamagnetik apabila
memiliki harga momen magnetik efektif nol, dan bersifat paramagnetik bila
memiliki harga momen magnetikefektif lebih besar dari nol.
Sampai sekitar tahun 1943 teori ikatan valensi merupakan satu-satunya
teori yang digunakan oleh para pakar kimia anorganik dalam menerangkan struktur
dan kemagnetan senyawa kompleks. Di samping itu, teori ini dapat digunakan
untuk meramalkan kemungkinan struktur dan kemagnetan senyawa-senyawa kompleks
yang belum disintesis. Fakta eksperimen tentang senyawa-senyawa kompleks yang
baru berhasil disintesis ternyata banyak yang cocok dengan ramalan yang
didasarkan atas teori ikatan valensi. Meskipun demikian, teori ini memiliki
beberapa kelemahan, yaitu:
1. Tidak dapat
menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan
temperatur.
2. Tidak dapat
menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3. Tidak dapat
menjelaskan kestabilan senyawa kompleks.
Aplikasi Teori Ikatan Valensi dapat dicheck di sini
Sumber:
Brady, J., 1999, Kimia Universitas, Binarupa Aksara, Jakarta.
Fessenden
dan Fessenden.,
1986, Kimia Ikatan, Erlangga, Jakarta.
Pire, S., 1988, Kimia Ikatan 1, ITB, Bandung.
Respati, 1987, Pengantar
Kimia Ikatan Jilid 3, Aksara Baru, Jakarta.
Suminar, H., 1990, Kimia Ikatan Suatu Kuliah
Singkat,
Erlangga, Jakarta.
Su, Xiao-Jun, Meng Gao,Lei Jiao,Rong-Zhen Liao,*
PerE.M.Siegbahn, Jin-Pei Cheng,
2015, Electrocatalytic Water Oxidation by aDinuclear Copper Complex in a Neutral Aqueous Solution.
Ganguly,
S., Renz, D., Giles, L.J., Gagnon, K.J.,
McCormick, L.J., Conradie, A., J.,
Sarangi, R., and Ghosh, 2017, Cobalt-
and Rhodium-Corrole-Triphenylphosphine Complexes Revisited: The Question of a
Noninnocent Corrole, ACS Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar