Selasa, 07 Juli 2020

Kimia Koordinasi dan Organologam: Teori Ikatan Valensi dan Aplikasinya


     Model VSEPR yang sebagian besar didasarkan pada struktur Lewis, memang dapat menjelaskan dengan baik mengenai geometri molekul, namun teori lewis tidak secara jelas dapat menjelaskan mengenai mengapa terjadi ikatan kimia, misalnya ketika menggambarkan ikatan tunggal antar atom H dalam H2 dan antar atom F dalam F2. Teori Lewis menggambarkan ikatan-ikatan ini dengan cara yang sama sebagai perpasangan dua elektron. Tetapi kedua molekul ini memiliki energi ikatan dan panjang ikatan yang berbeda. Hal ini dan berbagai fakta lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori ikatan valensi yang menggunakan kajian mekanika kuantum.
Teori ikatan valensi mengasumsikan bahwa sebuah ikatan kimia terbentuk ketika dua valensi elektron bekerja dan menjaga dua inti atom bersama oleh karena efek penurunan energi sistem, teori ini berlaku dengan baik pada molekul diatomik. Pada teori ikatan valensi ini, elektron-elektron dalam molekul menempati orbital-orbital atom dari masing-masing atom.
 Dalam teori Lewis, pembentukan molekul H2 dari atom H digambarkan ikatan H-H dengan perpasangan dua elektron pada atom-atom H. Dalam kerangka teori ikatan valensi, ikatan kovalen H-H dibentuk melalui daerah dalam ruang yang digunakan bersama oleh kedua orbital 1s dalam atom-atom H, yang dalam konsep ini disebut tumpang tindih elektron. 
Konsep elektron valensi dapat diterapkan tidak hanya dalam molekul H2, tetapi juga dalam molekul diatomik lain, misalnya HF. Dalam setiap kasus, teori ikatan valensi menjelaskan perubahan energi potensial ketika jarak antar atom yang bereaksi berubah. Karena orbital-orbital yang terlibat tidak selalu sama dalam setiap kasus, maka dapat dijelaskan mengapa energi ikatan dan panjang ikatan dalam beberapa molekul diatomik dapat berbeda, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori Lewis.
1. Teori Ikatan Valensi
Teori ikatan valensi merupakan teori mekanika kuantum pertama yang muncul pada masa awal penelitian ikatan kimia yang didasarkan pada percobaan W. Heitler dan F. London pada tahun 1927 mengenai pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen. Selanjutnya, teori ini kembali diteliti dan dikembangkan oleh Linus Pauling pada tahun 1931 sehingga dipublikasikan dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “On the Nature of the Chemical Bond”. Dalam jurnal ini dikupas hasil kerja Lewis dan teori ikatan valensi oleh Heitler dan London sehingga menghasilkan teori ikatan valensi yang lebih sempurna dengan beberapa postulat dasarnya, sebagai berikut:
1.      Ikatan valensi terjadi karena adanya gaya tarik pada elektron-elektron yang tidak berpasangan pada atom-atom.
2.      Elektron - elektron yang berpasangan memiliki arah spin yang berlawanan.
3.      Elektron-elektron yang telah berpasangan tidak dapat membentuk ikatan lagi dengan elektron-elektron yang lain.
4.      Kombinasi elektron dalam ikatan hanya dapat diwakili oleh satu persamaan gelombang untuk setiap atomnya.
5.      Elektron-elektron yang berada pada tingkat energi paling rendah akan membuat pasangan ikatan-ikatan yang paling kuat.
6.      Pada dua orbital dari sebuah atom, orbital dengan kemampuan bertumpang tindih paling banyaklah yang akan membentuk ikatan paling kuat dan cenderung berada pada orbital yang terkonsentrasi itu.
            Keenam postulat dasar di atas disimpulkan dari sejumlah penelitian terhadap pembentukkan ikatan pada molekul hidrogen berdasarkan persamaan fungsi gelombang elektron pada masing-masing orbital yang berikatan.
             Dalam teori ikatan valensi, yang menjadi titik tekannya yaitu fungsi gelombang elektron-elektron yang berpasangan dibentuk dari tumpang tindih fungsi gelombang pada masing-masing orbital dari atom-atom yang berkontribusi dan saling terpisah. Jika terdapat satu elektron pada masing-masing dua atom H yang berlainan maka kemungkinan fungsi gelombang pada tiap sistem adalah sebagai berikut:

Ψ=χA(1)χB(2)                                                
Ψ=χA(2)χB(1)                                                
Dimana  χA dan χB adalah orbital-orbital 1s pada atom A dan B. Sementara angka 1 dan 2 merepresentasikan elektron yang berikatan dengan proton pada masing-masing atom A dan B.
            Ketika kedua atom H berada pada keadaan yang sangat dekat, tidak dapat diketahui apakah elektron 1 terikat pada atom A dan elektron 2 terikat pada atom B atau justru sebaliknya, sehingga deskripsi yang paling mungkin adalah membuat dua fungsi gelombang pada kedua sistem yang mungkin terjadi. Saat kedua kemungkinan ini disatukan dalam gelombang superposisi maka penjelasan yang lebih baik adalah kombinasi linear dari keduanya.

Ψ=χA(1)χB(2)+χA(2)χB(1)

Fungsi di atas merupakan fungsi gelombang untuk ikatan H-H. Kedua fungsi ini berinterferensi konstruktif sehingga terjadi kenaikkan amplitudo di daerah fungsi gelombang dalam nukleus (inti). Untuk menjelaskan lebih rinci digunakan prinsip Pauli yang menyatakan bahwa hanya elektron-elektron dengan spin berpasangan yang dapat dideskripsikan oleh fungsi gelombang di atas. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pada teori ikatan valensi, fungsi gelombang dibentuk oleh pasangan spin dari elektron-elektron pada kedua orbital atom-atom yang berikatan. Ikatan yang terjadi dari tumpang tindih ini adalah ikatan sigma.
2. Struktur Senyawa Kompleks
Berdasarkan teori ini senyawa koordinasi dibentuk dari reaksi antara asam Lewis (atom atau ion pusat) dengan basa Lewis (ligan) melalui ikatan kovalen koordinasi antara keduanya. Di dalam senyawa koordinasi atau senyawa kompleks atom atau ion pusat memiliki bilangan koordinasi tertentu. Geometri senyawa koordinasi dengan bilangan koordinasi 2, 3, 4 dan 6 diberikan pada tabel di bawah berikut.
Bilangan Koordinasi
Hibridasasi
Struktur kompleks
Contoh
2
Sp,
Linear
[Ag(CN)2]-
3
sp2
Trigonal planar
[HgCl3]-
4
sp3
Tetrahedral
[NiCl4]2-
4
dsp2
Bujur sangkar
[Ni(CN)4]2-
5
sp3d
Trigonal bipiramidal
[CuCl5]3-
5
dsp3
Trigonal bipiramidal
[Fe(CO)5]
6
sp3d2
Oktahedral
[CoF6]3-
6
d2sp3
Oktahedral
[Co(CN)6]3-

            Berdasarkan teori ikatan valensi, struktur senyawa koordinasi atau senyawa kompleks berhubungan erat dengan susunan dalam ruang dari orbital-orbital atom pusat yang digunakan dalam pembentukan ikatan.  Pada pembentukan ikatan-ikatannya, atom pusat tidak menggunakan orbital s, p dan d, melainkan menggunakan orbital-orbital yang sama jenisnya dengan tingkat energi yang sama pula. Orbital-orbital ini disebut orbital-orbital hibrida (hybrid orbitals) yang diperoleh malalui proses hibridisasi (hybridization). Hibridisasi adalah proses pembentukan orbital-orbital hibrida dengan tingkat energi yang sama melalui kombinasi linear dari orbital-orbital atom yang berbeda dengan dengan tingkat energi yang berbeda pula. Orbital-orbital yang menglami hibridisasi tersebut adalah milik dari atom pusat. 
3. Kelemahan Teori Ikatan Valensi
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa suatu kompleks dapat bersifat paramagnetik atau diamagnetik. Suatu kompleks bersifat diamagnetik apabila memiliki harga momen magnetik efektif nol, dan bersifat paramagnetik bila memiliki harga momen magnetikefektif lebih besar dari nol.
Sampai sekitar tahun 1943 teori ikatan valensi merupakan satu-satunya teori yang digunakan oleh para pakar kimia anorganik dalam menerangkan struktur dan kemagnetan senyawa kompleks. Di samping itu, teori ini dapat digunakan untuk meramalkan kemungkinan struktur dan kemagnetan senyawa-senyawa kompleks yang belum disintesis. Fakta eksperimen tentang senyawa-senyawa kompleks yang baru berhasil disintesis ternyata banyak yang cocok dengan ramalan yang didasarkan atas teori ikatan valensi. Meskipun demikian, teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1.      Tidak dapat menjelaskan gejala perubahan kemagnetan senyawa kompleks karena perubahan temperatur.
2.      Tidak dapat menjelaskan warna atau spektra senyawa kompleks.
3.       Tidak dapat menjelaskan kestabilan senyawa kompleks.

4. Aplikasi Teori Ikatan Valensi

Aplikasi Teori Ikatan Valensi dapat dicheck  di sini


Sumber:
Brady, J., 1999, Kimia Universitas, Binarupa Aksara, Jakarta.
Fessenden dan Fessenden., 1986, Kimia Ikatan, Erlangga, Jakarta.
Pire, S., 1988, Kimia Ikatan 1,  ITB, Bandung.
Respati, 1987, Pengantar Kimia Ikatan Jilid 3, Aksara Baru, Jakarta.
Suminar, H., 1990, Kimia Ikatan Suatu Kuliah Singkat, Erlangga, Jakarta.
Su, Xiao-Jun, Meng Gao,Lei Jiao,Rong-Zhen Liao,* PerE.M.Siegbahn, Jin-Pei       Cheng, 2015, Electrocatalytic Water Oxidation by aDinuclear Copper       Complex in a Neutral Aqueous Solution.
Ganguly, S., Renz, D., Giles, L.J., Gagnon, K.J., McCormick, L.J., Conradie, A.,  J., Sarangi, R., and Ghosh, 2017, Cobalt- and Rhodium-Corrole-Triphenylphosphine Complexes Revisited: The Question of a Noninnocent Corrole, ACS Publications.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar