Senin, 27 April 2020

Kimia Forensik "Keracunan Herbisida"


Salam Milenial...
Kali ini saya mengupload materi Kimia Forensik tentang Keracunan Herbisida. File Power Point bisa teman-teman unduh di sini. Selamat membaca ^_^...

Keracunan akibat obat, makanan, pestisida ataupun bakteri dan jamur merupakan salah satu masalah yang meresahkan masyarakat. Pasalnya, keracunan kebanyakan berujung pada kematian. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidaktahuan teman atau keluarga pasien bahwa telah terjadi kasus keracunan, keterlambatan pasien dibawa ke rumah sakit, dan penatalaksanaan terapi keracunan yang kurang tepat (Nurlaila, 2005).
Herbisida merupakan salah satu penyebab keracunan dalam lingkup masyarakat. Herbisida dikenal sebagai pestisida pembunuh gulma pada tanaman sehingga hampir semua petani menggunakannya. Resiko bagi keselamatan pengguna adalah kontak langsung terhadap pestisida, yang dapat mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, mual, muntah dan sebagainya, bahkan beberapa pestisida dapat menimbulkan iritasi kulit dan kebutaan. Keracunan kronis tidak selalu mudah diprediksi dan dideteksi karena efeknya tidak segera dirasakan, walaupun akhirnya juga menimbulkan gangguan.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Lingkungan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan ada 1,5 juta kasus keracunan pestisida terjadi pada pekerja di sektor pertanian. Sebagian besar kasus keracunan pestisida tersebut di negara berkembang, yang 20.000 kasus diantaranya berakibat fatal. Penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) tahun 1992 yang meliputi 214 orang petani selama 2 tahun, terjadi keracunan akut pada petani yang disebabkan ketidaktahuan petani tentang bahaya pestisida.
Kasus keracunan yang terjadi pada seseorang tidak dapat diketahui tanpa ada informasi dari pihak yang melihat kejadian langsung. Akan tetapi melalui pemeriksaan forensik dapat diketahui dengan menganalisis sampel darah maupun urin korban. Oleh karena itu penulis menguraikan mekanisme keracunan herbisida pada korban beserta metode analisisnya dalam darah menggunakan instrument GC-MS.

1.   Herbisida Glifosat
Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida bersifat racun pada gulma atau tumbuhan pengganggu juga terhadap tanaman. Pemberantasan gulma terjadi karena herbisida mengubah pengaruh bahan kimia di dalam jaringan gulma, yang dapat mematikan jaringan itu atau merusak suatu sistem fsiologis yang dibutuhkan untuk hidup atau pertumbuhan (Riadi, 2011). Salah satu jenis herbisida yang digunakan pada pertanian dan perkebunan adalah glifosat. Glifosat atau N-(phosphonomethyl)-glycine digunakan untuk mengendalikan tanaman yang tidak diinginkan dan bekerja secara tidak selektif. Pada tanaman mekanisme kerjanya adalah diabsorbsi oleh daun dan dengan cepat didistribusikan ke seluruh bagian tanaman (Anonim, 2015).
Glifosat akan mengganggu pembentukan enzim yang spesifik yaitu asam sikimat (Shikimic Acid Pathway) yang penting untuk pembentukan protein dan pertumbuhan tanaman. Pada umumnya glifosat yang tersedia pada produk pertanian dalam bentuk garam ammonium dimetilamin, isopropilamin atau kalium. Beberapa sediaan hanya mengandung glifosat dalam bentuk garamnya dan beberapa sediaan yang lain mengandung surfaktan. Glifosat merupakan golongan asam fosfonik asiklat atau organofosfonat. Pada kasus keracunan yang dilaporkan ke Sentra Informasi Keracunan pada tahun 2010 – 2014 terdapat 119 kasus yang umumnya korban keracunan karena penyalahgunaan dengan meminum cairan produk herbisida yang mengandung glifosat (Anonim, 2015).
Penggunaan herbisida dengan dosis besar dan dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan beberapa kerugian, antara lain residu herbisida akan terakumulasi pada produk-produk pertanian, pencemaran pada lingkungan pertanian, penurunan produktivitas, keracunan pada hewan, keracunan pada manusia yang berdampak buruk terhadap kesehatan. Manusia akan mengalami keracunan baik akut maupun kronis yang berdampak pada kematian (Kishi et al, 1993).
Menurut Peduto et al tahun 1996 dalam penelitian Widyaningrum (2008), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 1-5 juta kasus keracunan herbisida pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian mencapai 220.000 korban jiwa. Sekitar 80% keracunan dilaporkan terjadi di negara-negara sedang berkembang.

2. Mekanisme Keracunan Herbisida
Glifosat dalam bentuk murni memiliki toksisitas rendah, tetapi pada suatu produk selalu ada bahan-bahan lain yang dapat membantu kerja glifosat agar dapat masuk ke dalam metabolisme tanaman. Bahan-bahan lain tersebut dapat membuat suatu produk glifosat menjadi lebih toksik. Salah satunya, pada produk yang mengandung surfaktan dapat memiliki efek toksik yang lebih besar daripada glifosatnya dan kombinasi keduanya dapat menyebabkan toksisitasnya meningkat. Sebagian besar sediaan glifosat mengandung surfaktan (Anonim, 2015).
Salah satu surfaktan yang sering digunakan dalam formulasi glifosat adalah POEA (Polyoxyethyleneamine). POEA merupakan senyawa campuran (bukan surfaktan tunggal) yang kandungannya tidak dipublikasikan. Surfaktan POEA yang digunakan dalam sebuah formulasi glifosat dapat berbeda dari formulasi glifosat lain walaupun diproduksi oleh produsen yang sama (Anonim, 2015).


Gambar 1. Struktur Glifosat

Herbisida dapat menyebabkan gangguan reproduksi seperti apnormalitas sperma, subfekunditas, infertilias, dan gangguan perkembangan janin. Selain itu, dapat menyebabkan Blood dycrasia, kanker, merusak sistem imunologi (kemotaksis neutrophil), gangguan pernapasan seperti asma, penyakit iritasi kulit dan alergi. Bahkan menyebabkan kerusakan hati dan sistem saraf. Mekanisme kerja upnormal sistem saraf akibat dampak herbisida yang menghambat enzim Acetyl Cholinesterase untuk memecah Acetylcholine menjadi Acetic Acid dan Choline dalam sistem impuls saraf. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan otak menyampaikan informasi kepada seluruh tubuh sehingga menyebabkan kelumpuhan.
Menurut O’Malley (2010), cara masuk herbisida ke dalam tubuh menentukan kecepatan penyerapan, sehingga berpengaruh pada intensitas dan durasi keracunan. Herbisida masuk ke dalam tubuh melalui beberapa jalur yaitu : (1) oral/mulut; (2) respirasi/pernafasan; (3) penetrasi kulit/perkutan. Absorbsi herbisida dalam tubuh tidak hanya melalui satu jalur tapi dapat merupakan kombinasi dari beberapa jalur. Jalur utama adalah absorbsi kulit. Cara absorbsi yang paling berbahaya secara epidemologi melalui terhirup (inhalasi) karena bahan berbentuk gas atau partikel, sehingga memudahkan racun masuk ke dalam peredaran darah.

Gambar 2. Penghambatan Enzim Acetyl Cholinesterase

Beberapa kasus keracunan terjadi secara disengaja, korban dengan sengaja menelan glifosat dengan maksud untuk bunuh diri. Gejala yang umum dapat mengakibatkan efek korosif pada gastrointestinal, mulut, tenggorokan, serta nyeri epigastrium (nyeri pada bagian dinding perut di atas pusar) dan disfagia (kesulitan dalam menelan). Selain itu, dapat terjadi gangguan ginjal dan hati. Gangguan pernapasan, gangguan kesadaran, edema paru, shock, aritmia, gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis, asidosis metabolik dan hiperkalemia dapat muncul pada kasus keracunan berat (Anonim, 2015)
Gejala lain yang dapat terjadi akibat menelan produk yang mengandung glifosat dapat mengakibatkan peningkatan air liur, mual, muntah dan diare. Dilaporkan juga adanya kematian akibat menelan produk glifosat secara sengaja. Pada manusia, glifosat tidak mudah melewati kulit. Glifosat yang diserap atau tertelan akan melewati tubuh relatif cepat (glifosat tidak lagi terdeteksi pada plasma setelah 12 jam). Sebagian besar glifosat meninggalkan tubuh dalam bentuk urin dan feses tanpa diubah menjadi bentuk kimia yang lain. Glifosat sangat sulit diabasorbsi oleh tubuh dan diekskresikan tanpa mengubah bentuknya (Anonim, 2015)
3.  Studi Kasus Keracunan Herbisida Glifosat
Kasus keracunan sudah banyak terjadi dan bahkan ada yang berujung kematian. Keracunan akibat pestisida jenis glifosat merupakan salah satu kasus terbanyak. Sejak tahun 1987 di Jepang, kasus keracunan akibat pestisida dapat disebabkan oleh 2 jenis yaitu Herbisida glyphosate (GLYP) Roundup dan Gluphosinate (GLUF) BASTA. Herbisida Roundup dengan kandungan GLYP 41% dapat mengakibatkan rasa sakit pada bagian faring, dan perut. Selain itu, terdapat masalah pecernaan seperti muntah, tekanan darah turun dan gangguan kesadaran sedang. Apabila tertelan lebih dari 100 mL dapat menyebabkan kematian. Sedangkan keracunan herbisida BASTA (mengandung GLUF) menyebabkan koma, apnea, kejang tiba-tiba dan tingkat parah dapat menyerang sistem saraf pusat setelah 4-60 jam. Berikut ini dijelaskan suatu kasus keracunan herbisida Roundup GLYP.
Seorang pasien wanita berumur 58 tahun mencoba bunuh diri dengan menelan 100 mL herbisida. Setelah 30 menit menelan, dia muntah dan berkelanjutan. Setelah 8 jam, dia pergi ke rumah sakit dengan kemauannya sendiri. Setibanya di sana, diameter pupilnya, tekanan darahnya tidak ada kelainan. Tapi lambungnya tetap diperiksa. Keluarga pasien ditanyai tentang jenis herbisida yang ditelan apakah Roundup atau BASTA. Sebab, belum diketahui jenis herbisida apa yang membuatnya mabuk. Setelah 8 jam, dilakukan analisis serum darah untuk mengetahui jenis herbisida yang ditelan.
Analisis serum mengindikasi tidak adanya GLUF dan sehingga tidak ada metabolisme MPPA, tetapi terdeteksi adanya GLYP dan metanolisme AMPA. Hasil pemeriksaan ini menjadi dasar untuk memanajemen kondisinya. Dia diberikan infus dan terus diamati keadaanya. Hari kedua di RS, pasien pulih dari mualnya, dan tidak ditemukan kelainan tekanan darah. Di dipulangkan pada hari ke tujuh. Adapun sampel serum, dikumpul 16 jam setelah konsumsi. Dan urin dikumpulkan sampai 7 hari rawat inap dan disimpan pada suhu dingin -40 0C untuk analisis selanjutnya.
4.  Teknik Analisis Herbisida dalam Darah
Analisis menggunakan instrument GC-MS. Mula-mula mengkondisikan 100 mg isolut cartridge dengan 1 mL NaOH dengan kecepatan aliran 1 mL/menit. Disamping itu, sediakan sampel darah atau sampel urin. Untuk sampel darah yang dianalisis adalah serum darah. Encerkan sampel terlebih dahulu dengan akuades (1:10). Kemudian tambahkan 10  larutan standar yang mengandung 1     APPA dan diamkan campuran selama 2 menit. Setelah itu, lakukan sentrifugasi pada kecepatan 1200 rpm. Hasil sentrifugasi menghasilkan filtrat dan endapan. Ambil filtratnya lalu tambahkan 1 mL akuades lalu aplikasikan pada cartridge. Kemudian, cuci cartridge yang telah digunakan dengan 1 mL akuades, GLYP, AMPA dan APPA. Selanjutnya elusikan HCl/methanol (4:1) sebanyak 200  dengan kecepatan aliran 200 . Uapkan pelarutnya pada temperature 50 0C yang akan menghasilkan residu dalam hal ini zat yang tinggal setelah evaporasi.
Residu ditambahkan 50  MTBSTFA dan 50  dimetilformamida, lalu disonifikasi selama 2 menit pada temperature ruang. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 80 0C selama 30 menit.  Dinginkan pada temperature ruang, lalu analisis dengan GC-MS. Untuk recovery test, masing-masing larutan GLYP dan AMPA ditambahkan ke dalam 1 mL sampel serum untuk memperoleh konsentrasi 0,1 𝜇g/mL, 1 𝜇g/mL, dan 10 𝜇g/mL GLYP dan AMPA. Serta tambahkan ke dalam sampel urin untuk memperoleh konsentrasi 1 𝜇g/mL, 10 𝜇g/mL dan 100 𝜇g/mL. Analisis kuantitatif GLYP dan AMPA dengan metode internal standar.
Berdasarkan penelitian jurnal Hori tersebut, diperoleh data analisis GC-MS berikut.
Perbandingan serum dengan konsentrasi GLYP dan AMPA adalah 126:1, 8 jam setelah tertelan. Sedangkan 16 jam setelah tertelan perbandingannya adalah 147:1. berbeda dengan total GLYP dan AMPA dalam urin yaitu 148:1 yang mengindikasikan bahwa hanya sedikit GLYP yang dimetabolisme menjadi AMPA.
            Keracunan herbisida dapat terjadi secara sengaja seperti bunuh diri maupun tidak disengaja menghirup (melalui hidung), menelan (oral) dan terpapar melalui kulit. Herbisida yang masuk dalam tubuh tidak dapat diabsorbsi sehingga bersifat toksik dalam tubuh dan diekskresikan dalam bentuk senyawa utuh melalui urin dan feses. Keracunan herbisida menyebabkan gangguan pernapasan, kesadaran, edema paru, shock, aritmia, gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis, asidosis metabolik dan hiperkalemia dapat muncul pada kasus keracunan berat bahkan kematian. Dalam ilmu forensik, analisis kadar herbisida dalam darah dapat menggunakan instrument GC-MS. Untuk kedepannya bahwa analisis kandungan herbisida dalam darah dapat mempergunakan instrument lain seperti HPLC, IR, mikrospektrofotomer dan sebagainya.



 DAFTAR PUSTAKA

Kishi, M., Hirschon, N., Djajadisastra, M., Satterlee, L. N, Strowman, S., dan Dilts R., 1995, Relationship of Pesticide Spraying to Signs and Symptoms in Indonesian Farmers, Scand. J. Wrk, Environ. H, 21:124-133.
Nurlaila, Donatus, I. A. dan Edy, M., 2005, Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Keracunan Pestisida Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit A Yogyakarta Periode Januari 2001 Sampai dengan Desember 2002, Majalah Farmasi Indonesia, 16(3): 149-154.
O’Malley, M., 2010, Hayes’ Handbook of Pesticide Toxicology (Third Edition), Academic Press, US.
Riadi, M., 2011, Herbisida Dan Aplikasinya, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar.
Widyaningrum, N. R., 2008, Potensi Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Dewandaru (Eugenia Uniflora L.) Sebagai Agen Pengkhelat Logam Fe dan Penangkap Malonaldehid, skirpsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar