Minggu, 30 Januari 2022

Isolasi Enzim Kitinase

    Kitinase adalah enzim golongan glikosil hidrolase yang mengkonversi kitin menjadi monomernya yakni N-asetil glukosamin yang dapat digunakan sebagai substrat dalam berbagai aplikasi industri. N-asetil glukosamin merupakan komponen dari glikoprotein dan glikosaminoglikan yang berperan sebagai substrat untuk perbaikan jaringan dan reaksi anti-inflamasi. N-asetil glukosamin memiliki aktivitas anti-inflamasi pada kondrosit manusia untuk mengatasi gejala osteoarthritis. Selain itu, N-asetil glukosamin juga diaplikasikan pada kosmetik untuk mencegah hiperpigmentasi, penuaan dan menjaga elastisitas kulit. Semua enzim yang dapat mendegradasi kitin disebut sebagai kitinase total atau kitinase non spesifik. Berdasarkan mode of action, kitinase dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama, dari kitobiohidrolase dan N-asetilglukosaminidase (EC.3.2.1.30).


Gambar 1 Reaksi Hidrolisis Kitin Menjadi N-Asetil-D-Glukosamin dengan Katalisis Enzim Kitinase. Terjadi Pemutusan pada Ikatan β-1,4-N-Asetilglukosaminidase.

    Endokitinase menghidrolisis kitin secara acak dari bagian dalam menghasilkan kitooligomer. Eksokitinase terdiri dari kitobiohidrolase yang menghidrolisis kitin secara berurutan dari ujung nonreduksi menghasilkan kitobiosa sebagai produk akhir dan β -N-asetilheksosaminidase yang menghidrolisis kitin secara berurutan dari ujung nonreduksi menghasilkan N-asetilglukosamin. Saat ini, kitinase banyak diaplikasikan dalam bidang pertanian dan bioteknologi. Kitinase dapat digunakan sebagai agen biokontrol untuk jamur patogen, menghambat kerusakan makanan kemasan dan sebagai insektisida. Selain itu, kitinase diantaranya juga digunakan sebagai biokontrol larva nyamuk, preparasi protoplats, produksi protein sel tunggal dari limbah perikanan, produksi senyawa kitooligosakarida dan Nasetilglukosamin.

       Salah satu jamur yang memiliki potensi sebagai sumber kitinase adalah jamur akuatik. Jamur akuatik adalah jamur yang hidup dalam habitat berair. Jamur akuatik kitinolitik merupakan jamur akuatik yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan kitinase sehingga mampu mendegradasi kitin.

Isolasi Enzim Kitinase (Karso dkk., 2014)

1. Peremajaan dan Aktivasi Jamur Akuatik KC3

        Jarum ose yang telah disterilkan dengan autoklaf dan pemijaran digoreskan pada spora biakan murni sel jamur akuatik dari stok awal media agar miring. Kemudian secara aseptik spora tersebut diinokulasikan pada media padat kitin yang terdiri dari KH2PO4 0,1 %, MgSO4.7H2O 0,05 %, KCl 0,05 %, agar 3 % dan kitin koloidal 0,5 %. Media yang telah diinokulasi dengan spora jamur kemudian diinkubasi pada suhu ruang di inkubator. Tahap selanjutnya sebanyak satu mata jarum ose dari hasil peremajaan yang sudah tumbuh pada media padat kitin diinokulasikan pada media cair yang mengandung komposisi seperti tabel 1, kemudian dilakukan inkubasi pada inkubator shaker selama 3 hari dengan kecepatan 50 rpm.

       Peremajaan dilakukan pada media padat mengandung kitin. Peremajaan dilakukan 2 kali agar diperoleh sel jamur yang semakin murni dan bebas dari kontaminasi mikroba lainnya. Peremajaan akan menghasilkan sel yang lebih muda. Media yang digunakan untuk peremajaan adalah media padat, sedangkan media untuk produksi adalah media cair, karena itu sel jamur akuatik dari media peremajaan diaktivasikan pada media cair terlebih dulu. Media cair yang digunakan mengandung kitin koloidal. Kandungan kitin pada media cair akan menjadi inducer sehingga sel jamur mensekresikan kitinase untuk memecah kitin pada media.

Tabel 1. Komposisi 100 mL media fermentasi cair

2. Pembuatan Kurva Pertumbuhan

    Sebanyak 10 buah botol gelas masing-masing diisi dengan 20 mL media cair dengan komposisi seperti pada tabel 1 dalam bufer asetat pH 5, kemudian disterilisasi dengan autoklaf selama 20 menit. Pada 10 buah botol gelas masing-masing ditambahkan 0,8 mL inokulum jamur akuatik (sebagai sampel) secara aseptik. Kemudian ke-10 botol tersebut dimasukkan dalam inkubator shaker dengan kecepatan 50 rpm pada suhu ruang, selanjutnya sampel diambil tiap 6 jam untuk diukur berat keringnya. Penentuan kurva pertumbuhan jamur akuatik dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran berat kering sel. Data yang didapatkan adalah jumlah berat kering sel jamur. Data yang diperoleh kemudian diplotkan terhadap waktu sehingga diperoleh grafik waktu vs jumlah berat kering sel jamur.

        Kurva pertumbuhan menunjukkan fase-fase pertumbuhan mikroorganisme. Jika fase hidup sel jamur akuatik diketahui akan memudahkan proses isolasi kitinase. Enzim biasanya diisolasi pada fase log karena pada fase ini sel jamur sedang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan jumlah sel yang banyak. Jika jumlah sel yang tumbuh banyak maka enzim yang dihasilkan juga banyak karena masing-masing sel mensekresikan enzim. Kurva pertumbuhan yang diperoleh dapat dilihat pada gambar 1.


Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Jamur Akuatik

    Pada gambar 1 dapat dilihat terjadi peningkatan massa sel secara signifikan pada jam ke-24, kemudian menurun drastis pada jam ke-30. Kurva yang diperoleh tidak memiliki fase stasioner, mungkin karena rentang waktu pengukuran masih terlalu lebar sehingga fase tidak diperoleh. Lonjakan massa sel yang signifikan mungkin juga disebabkan karena adanya pengaruh dari sisa-sisa media (terutama kitin koloidal) yang tidak larut dalam bufer. Sisa media yang tidak larut ataupun tidak digunakan oleh jamur dapat mempengaruhi pengukuran berat sel karena metode yang digunakan dalam pembuatan kurva pertumbuhan ini menggunakan pengukuran berat kering sel jamur. Kurva pertumbuhan isolat jamur tersebut perlu diteliti lebih lanjut dengan mempersempit rentang waktu pengukuran dan memperbesar volume media pertumbuhan yang digunakan untuk menghindari terbawanya sisa media saat penyaringan. Waktu panen yang tepat berdasarkan kurva pertumbuhan di atas adalah jam ke-24 karena pada jam ini massa sel paling besar dengan demikian diharapkan jumlah enzim yang disekresikan juga besar

3. Produksi Enzim Kitinase

    Produksi kitinase diawali dengan membuat media starter sebanyak 50 mL dengan langkah sama seperti tahap aktivasi pada media cair. Sebanyak 10 mL starter jamur akuatik KC3 dipindahkan secara aseptik kedalam media produksi 250 mL (4% starter). Komposisi media produksi sama dengan komposisi media starter dengan komposisi seperti tabel I. Media produksi diinkubasi pada shaker incubator. Setelah mencapai waktu sesuai fase log, media produksi disaring menggunakan kertas saring untuk memisahkan sel jamur akuatik dengan media produksi. Media produksi selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 5 °C selama 30 menit untuk memisahkan filtrat (ekstrak kasar kitinase) dan endapan.

    Tahap awal proses produksi adalah pembuatan starter. Starter adalah biakan yang siap difermentasikan. Starter memenuhi syarat untuk difermentasikan karena telah dikondisikan sesuai dengan kondisi fermentasi produksi. Media untuk starter dibuat dengan komposisi yang sama dengan media untuk produksi. Selain komposisi media, suhu inkubasi dan kecepatan incubator shaker juga sama. Penggunaan starter akan mempercepat waktu produksi karena fase adaptasi menjadi lebih singkat. Saat proses produksi berlangsung, kitinase disekresikan keluar sel oleh jamur akuatik untuk memecah kitin menjadi unit yang lebih kecil. Hasil hidrolisis kitin digunakan oleh jamur akuatik sebagai sumber karbon dan nitrogen untuk menunjang pertumbuhannya. Kitinase yang telah disekresikan ke luar sel akan bercampur dengan media produksi, karena itu untuk memperoleh kitinase dilakukan penyaringan media produksi. Sel jamur dan sisa media akan terpisah dengan filtrat yang mengandung kitinase.

4. Fraksinasi Kitinase dengan Amonium Sulfat

    Amonium sulfat ditambahkan kedalam ekstrak kasar enzim sambil diaduk dengan magnetic stirrer dengan kecepatan lambat sampai padatan ammonium sulfat larut sempurna. Tingkat kejenuhan ammonium sulfat 0-20% dikelompokkan menjadi F1, 20-40% F2, 40-60% F3, 60-80% F4 dan 80-90% F%. Campuran tersebut didiamkan selama satu malam dalam keadaan dingin. Selanjutnya campuran disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit pada suhu 5°C. Hasil sentrifugasi akan diperoleh endapan yang terpisah dari filtratnya. Endapan diambil dan disuspensikan dengan bufer asetat 0,2 M pH 5. Filtrat yang diperoleh kemudian dilanjutkan dengan perlakuan yang sama untuk fraksi berikutnya.

    Penambahan amonium sulfat dapat menurunkan kelarutan protein melalui dua mekanisme yaitu salting in dan salting out. Salting in terjadi pada saat konsentrasi garam rendah, ion garam yang dihasilkan akan melindungi molekul-molekul protein dan mencegah bersatunya molekul-molekul protein sehingga protein tetap melarut. Salting out terjadi pada saat konsentrasi garam tinggi, ion yang dihasilkan akan meningkatkan muatan listrik di sekitar protein yang mengakibatkan tertariknya mantel air dari koloid protein sehingga interaksi hidrofobik di antara sesama molekul protein menurunkan kelarutan protein. Protein yang mengendap pada fraksi satu sebagian besar adalah protein yang mengandung asam-asam amino hidrofobik yang cukup banyak, karena itu pada penambahan garam dengan konsentrasi kecil (0-20%) sudah dapat mengendap. Semakin besar konsentrasi garam yang diperlukan untuk mengendapkan protein berarti kandungan asam aminonya semakin banyak yang hidrofilik.

5. Dialisis Kitinase

        Membran selofan yang berisi enzim direndam dalam 800 mL bufer asetat 0,0002 M pH 5,0 lalu diaduk dengan magnetic stirer dalam kondisi dingin. Tiap dua jam bufer diganti serta diuji kandungan ammonium sulfatnya dengan BaCl2 sampai tidak terbentuk endapan putih. Pada tahap ini diperoleh kitinase F1 bebas amonium sulfat. Perlakuan yang sama diterapkan pada F2, F3, F4 dan F5 , untuk mendapatkan enzim kitinase F2, F3, F4 dan F5 yang bebas amonium sulfat.

    Fraksi kitinase yang diperoleh dari fraksinasi bertingkat masih mengandung amonium sulfat, untuk memisahkan amonium sulfat dari protein dapat dilakukan dengan dialisis menggunakan membrane selofan. Dialisis adalah suatu cara yang digunakan tuk desalinasi enzim secara difusi melalui membrane semipermeabel berpori dengan ketebalan 10-100 μm, dimana pemisahannya berdasarkan gradient konsentrasi. Konsentrasi bufer asetat yang terdapat dalam kantung membran selofan adalah 0,2 M, sedangkan bufer asetat di luar membran 0,002 M. Perbedaan konsentrasi akan menyebabkan difusi, molekul-molekul yang berukuran kecil seperti sisa-sisa garam amonium sulfat akan keluar dari membran, sedangkan molekul besar seperti protein akan tetap berada di dalam membran. Proses dialisis terus dilakukan sampai protein enzim dalam membrane terbebas dari amonium sulfat, untuk mengetahui hal tersebut, bufer di luar membran diambil sekitar 1-2 mL kemudian direaksikan dengan BaCl2. Jika masih terbentuk endapan putih berarti protein enzim dalam membran belum terbebas dari amonium sulfat. Endapan putih tersebut terbentuk dari reaksi antara Ba2+ dan SO42- membentuk endapan putih BaSO4.

6. Penentuan Aktivitas Kitinase

        Aktivitas kitinase diuji menurut metode Veda dan Arai dengan substrat koloidal kitin. Sebanyak 1,0 mL koloidal kitin 0,3 %, 2,0 mL bufer asetat 0,2 M pH 5 dan 1,0 mL filtrat enzim dimasukkan kedalam tabung reaksi dan diinkubasi pada suhu ruang selama waktu tertentu. Kemudian campuran tersebut dipanaskan dalam air mendidih selama 20 menit untuk menghentikan reaksi enzimatis dalam campuran tersebut lalu didinginkan. Aktivitas enzim dalam campuran tersebut ditentukan secara spektrofotometri pada λ = 660 nm.

        Aktivitas kitinase yang diukur merupakan aktivitas kitinase total atau non-spesifik, yakni meliputi aktivitas endokitinase maupun eksokitinase. Produk yang dihasilkan adalah kitooligosakarida dan Nasetilglukosamin. Aktivitas kitinase diuji dengan metode Veda dan Arai berdasarkan pengurangan substrat koloidal kitin. Turbiditas yang disebabkan karena berkurangnya jumlah kitin di dalam campuran reaksi diukur absorbansinya pada panjang gelombang 660 nm.

    Satu unit aktivitas enzim diukur sebagai sejumlah enzim yang mengakibatkan pengurangan absorbansi campuran reaksi sebesar 0,001 pada 660 nm tiap menit. Kadar total protein enzim diukur dengan metode Lowry dengan menggunakan panjang gelombang maksimum larutan standar BSA yang sebelumnya telah diperoleh dari pengukuran yaitu 732 nm. Standar yang digunakan BSA karena BSA tersusun atas semua asam amino yang lengkap. Metode Lowry dipilih karena lebih mudah dan sensitif terhadap residu protein sistein, tirosin dan triptofan. Prinsip metode Lowry adalah reaksi pembentukan kompleks antara nitrogen pada ikatan peptida dengan ion Cu2+ pada suasana basa dan reduksi fosfomolibdat serta fosfotungstat pada reagen Follinciocalteu oleh rantai samping asam amino tirosin dan triptofan.

    Jika unit aktivitas suatu fraksi semakin tinggi dan kadar protein totalnya semakin rendah, akan Fraksi yang memiliki aktivitas spesifik tertinggi adalah F1. Hal ini berarti sebagian besar protein yangterendapkan pada F1 adalah protein kitinase. Fraksi dengan aktivitas spesifik tertinggi selanjutnya dikarakterisasi pH dan suhu optimumnya.

7. Penentuan Aktivitas Spesifik

    Aktivitas spesifik kitinase ditentukan dengan menghitung unit aktivitas kitinase dibagi dengan kadar protein total. Sedangkan Kadar protein total enzim ditentukan dengan metode Lowry, menggunakan BSA sebagai larutan standar.

        Berdasarkan peneltitian tersebut dapat dikatakan bahwa kitinase dapat diisolasi dari isolat jamur akuatik kitinolitik KC3 dengan menggunakan kitin koloidal sebagai inducer. Aktivitas spesifik diperoleh pada fraksi 1 yaitu 73,258 U/mg.

Daftar Pustaka

Karso, Wuryanti dan Sriatun, 2014, Isolasi dan Karakterisasi Kitinase solat Jamur Akuatik 
         Kitinolitik KC3 dari Kecoa (Orthopetra), Jurnal Kimia Saind & Aplikasi, 17 (2): 51-56


Power Point dapat di download di sini
Referensi jurnal dapat di download di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar